Kumpulan CERPEN CINTA ROMANTIS KOREA. Oke dikesempatan hari ini saya akan memosting info seputar Kumpulan CERPEN CINTA ROMANTIS KOREA bagi anda yang sedang mencari kumpulan cerpen cinta romantis korea pas banget kalau anda membaca postingan ini, karena saya akan memberikan info kumpulan cerpen cinta romantis korea untuk anda supaya anda tidak penasaran jadi langsung saja ya disimak dibawah ini:
=================================================================
Age Difference’s Love
Lee Joon Ki, seorang mahasiswa baru di Hanyang University salah satu universitas musik ternama di Korea yang sedang mencari dimana ruang kelasnya, dan saat itu dia mendengar alunan piano dari sebuah ruang kelas yang kosong yang berisi sebuah piano tua. Ketika itu pula, ia melihat seorang wanita yang sedang asyik menggoyangkan tangannya di atas piano tua itu dengan nada yang begitu indah. Song Ga Eun namanya, ia adalah seorang dosen musik di universitas itu. Namun, Lee Joon Ki tak mengetahuinya dari awal perkenalan.
Dia pun Berjalan menuju dimana wanita itu bermain piano sambil bertepuk tangan dan melontarkan senyumannya. Wanita itu pun segera menghentikan permainannya.
“Aku Lee Joon Ki, kamu?” katanya sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Aku Song Ga Eun. Kamu baru ya disini?”
“Iya, tadinya aku mau mencari kelas tapi aku lihat sesuatu disini.” duduk di sebelah Ga Eun.
“Kamu bisa?” katanya sambil melirik arah piano.
“Bisa lah? Main bareng yuk!!!” ajaknya.
“Ayuk!!!” mulai menggoyangkan jari-jarinya di atas piano.
Perkenalan sekilas itu sudah berhasil membuat mereka begitu akrab selayaknya sudah lama kenal. Mereka pun memainkan piano tua itu bersama dengan penuh penghayatan. Joon Ki pun menghentikan permainan pianonya dan melirik jam tangannya.
“Ooo ya!! Seharusnya jam ini aku ada kuliah.”
“Emm.. iya, pergilah!! Aku tak apa.” Katanya sambil tersenyum.
“Maaf.” Katanya sambil berlari meninggalkan Ga Eun.
“Ini!!!” menyodorkan sebuah buku musik tua yang tersimpan di bawah piano.
“Apa ini?”
Ga Eun hanya tersenyum tanpa menjawab apapun sepatah kata pun.
“Oke, terimakasih!!” berlari menjauh dari pandangan Ga Eun
Menatap langkah kepergian Joon Ki, Ga Eun tetap melanjutkan permainan pianonya dan membiarkan Joon Ki berlalu.
Dalam waktu 3600 detik, tatapan Ga Eun berhasil membuat Joon Ki jatuh cinta, ia ingin mengenal lebih dekat tentang sosok Ga Eun. Dengan hanya membolak-balik buku musik tua yang diberikan oleh Ga Eun, ia bisa membayangkan bagaimana cantiknya wajah Ga Eun saat dia memainkan piano tua itu.
Melihat Joon Ki melamun sedemikian asyiknya, Tae Sang berlari mendekatinya untuk mengetahui apa yang sedang difikirkan oleh sahabatnya itu.
“Dorr!!”
“Sialan Lu!!”
“Asik banget ngelamunnya.” duduk di sebelah Joon Ki.
“Dia!!!” katanya sambil memandang lurus kedepan tanpa menoleh sedikitpun ke arah lawan bicaranya
“Dia siapa?” katanya keheranan sambil melihat ke arah pandangan Joon Ki.
“Song Ga Eun namanya.”
“Tunggu..!!! Song Ga Eun bukannya dosen musik di Universitas ini?”
“Kamu jangan bercanda ah. Dosen kok cantik masih muda gitu, dia seusia sama kita.” katanya tak percaya.
“Disini masih banyak cewek cantik dari dia, aneh kalau kamu sampai suka sama wanita tua seperti dia. Usia kalian tuh beda jauh!!”
Lee Joon Ki hanya membalas perkataan Tae Sang dengan senyuman dan berjalan meninggalkan sahabatnya itu. Ia sama sekali tak percaya terhadap apa yang dikatakan Tae Sang karena jika Ga Eun adalah seorang dosen, ia tak pernah melihatnya mengisi kelas kuliah.
“Pikirkan sebelum kamu menyesal Joon Ki!!!” teriaknya sekeras mungkin.
Dia tetap tak menghiraukan Tae Sang dan tetap melanjutkan langkahnya.
Kini, ia mulai menyusuri koridor kampus menuju ke kelas kosong, kelas dimana pertama kali ia menemukan Ga Eun di dalam.
Namun kali ini berbeda, ia sama sekali tak melihat sosok yang ia cari. Disitu hanya terdapat piano tua yang sunyi dilengkapi dengan buku note piano yang sudah kusam. Ia pun duduk di kursi hadapan piano, dan dibukanya lembaran demi lembaran buku note itu. Tanpa ia sadari, ia menemukan sebuah foto hitam putih yang sudah nampak lama.
“Loh Ini kan…”
Tanpa berfikir panjang ia pun menutup buku itu dan berlari meninggalkan kelas itu.
Sepanjang perjalanan pulang, ia terus memandangi dalam-dalam foto itu. Yang membuatnya heran, di dalam foto itu ada ayah dan ibunya semasa muda serta Ga Eun, wanita yang dicintainya saat ini.
Sesampainya di rumah, ia berjalan menuju arah mama dan papanya yang sedang duduk bersama.
“Ini, maksudnya apa pa, ma?” bentaknya sambil melemparkan foto itu di depan orangtuanya.
“Darimana kamu dapat foto ini, Joon?” Tanya ibunya.
“Iya, darimana kamu dapat ini?” Tanya ayahnya juga.
“Aku mencintai wanita yang ada di samping kalian itu!!!! Siapa dia, pah?”
“Bagaimana bisa? Katakan kalau kamu hanya bercanda, Nak. Iya kan?” kata ibu Joon Ki dengan berdiri dan memegang pundak anaknya.
“Apa yang kamu lakukan Joon Ki? Usia kalian terpaut jauh. Papa nggak bisa biarkan semua ini terjadi.”
“Memangnya dia siapa pa?” mendekati ayahnya.
Keheningan pun terjadi antara mereka bertiga, dan Lee Jong Dae ayah Joon Ki pun berdiri membelakangi anaknya dan memasukkan tangannya ke dalam saku celananya seolah-olah ia akan menceritakan sesuatu kebenaran tentang Ga Eun.
“Song Ga Eun namanya, dulu kita bertiga adalah sahabat. Tapi semuanya berubah saat ia tahu bahwa papa dan mama akan menikah. Dan ia menghilang begitu saja, entah kemana?” paparnya.
“Aku nggak peduli, aku cinta dia!!”
“Kamu nggak boleh melakukan hal bodoh ini, Nak!! Dia seusia ibu.” Kata ibu Joon Ki sambil melontarkan tangannya ke pipinya.
Joon Ki tidak membalas apapun tentang tamparan ibundanya, ia berlari menuju kamarnya. Mungkin ia hanya butuh waktu untuk memahami ini semua. Dan ia tetap bersikeras untuk tetap menemui Song Ga Eun.
“Joon Ki, maafkan Mama. Ini demi kebaikan kamu!!!” teriak Ae Ri pada anaknya.
Di waktu yang sama,
Ga Eun, yang sedang duduk membaca buku ditemani Shikhyung adik keponakannya itu asyik mendengarkan musik dari earphone yang ia pasang di telinganya. Shikhyung hanya memandangi Ga Eun yang sedang asyik membaca buku.
“Kak Ga Eun asyik banget bacanya?” tanyanya yang hanya dibalas dengan senyuman oleh Ga Eun.
“Ihh, malah senyum. Huch” cemberut kesal.
Melihat ekspresi wajah adiknya, Ga Eun segera menutup bukunya dan menoleh ke arah Shikhyung sambil tersenyum.
“Gimana dengan cowok yang kamu ceritain kemarin?”
“Kemarin dia nggak kuliah, Kak. Katanya ada masalah sama orangtuanya.” Tersenyum.
“Masalah? Emangnya apa?” tanyanya penasran.
“Entahlah, itu juga rumor anak-anak.”
“Namanya siapa sih? Sebagai dosen disana, apa kakak nggak boleh tahu?” membujuknya pelan.
“Lee Joon Ki kak, namanya.”
Ga Eun sedikit terkejut dan mengingat sesuatu, “Emm.. maaf ya. Kakak harus ngisi kelas.” meninggalkan Shikhyung.
“Ada yang salah kak?” katanya sambil memandang mata dan memegang tangan Ga Eun untuk mencegahnya pergi.
“Enggak kok.” melepaskan pegangan Shikhyung dan pergi.
Dalam perjalanan menuju ke kampus, tiba-tiba ia menemukan poselnya berteriak memanggil. Nomor yang tertera di layar kaca ponsel itu tidak dikenalinya, segera ia mengangkatnya.
“Bisa kita bertemu di Hampyeong Park? aku tunggu di tempat biasa kita duduk sepulang kuliah dulu.” Jelas Kim Ae Ri.
“Tunggu!!! Kamu siapa?” Tanya Ga Eun penasaran.
“Itu tidak penting, aku menunggumu.” menutup telepon.
Langkah Ga Eun menuju kampus terhenti di pertengahan jalan ini. Karena rasa penasaran terhadap siapa yang menelepon barusan, dia memutar jalan menuju Hampyeong Park untuk memastikan jika pertemuan ini adalah memang untuk sesuatu hal yang benar-benar penting.
Sesampainya di Hampyeong Park, ia menemukan sesosok wanita seusianya berdiri membelakanginya. Dia merasa seperti pernah mengenal wanita itu, sampai-sampai ia mengetahui bahwa bangku tua ini tempat duduknya dan kedua sahabatnya menghabiskan waktu bersama pada waktu ia masih muda dulu.
Ga Eun memandang heran dari kaki hingga ujung rambut.
“Permisi, saya Ga Eun. Apakah Anda yang menelepon saya tadi?” tanyanya memastikan.
Ae Ri pun membalikkan badan ke arah Ga Eun.
“Iya Ga Eun, kamu masih ingat aku?” tanyanya balik.
“kamu Kim Ae Ri?” katanya sambil menunjuk ke arah Kim Ae Ri.
“Iya, aku Kim Ae Ri.”
Tanpa menjawab Ga Eun berlari memeluk Ae Ri melepaskan rindu kedua sahabat yang sudah lama tak bertemu, sejak Kim Ae Ri dan Park Jong Dae menikah ia menghilang begitu saja.
“kenapa kamu tidak datang waktu itu?” melepas pelukan.
“maaf, waktu itu aku…!!!”
“Seharusnya aku yang minta maaf, aku nggak tahu kalau kamu ada rasa sama Jong Dae.”
“Sudah lupakan, ada apa kamu memintaku kesini?”
“Apa kamu mengenal Lee Joon Ki?”
“Iya, aku kenal. Dan sepertinya aku sama dia sudah ngerasa cocok meskipun usia kita sangat beda jauh.”
“Karena itu lah aku mengundangmu kesini.”
“Ada apa, Ae Ri?”
“Dia anakku Ga Eun? Dia memberikan ini pada kami, dan ternyata disitu tercantum nomor teleponmu. Maka dari itu aku bisa menghubungimu.” Jelasnya seraya menyodorkan sebuah buku foto yang diberikan Joon Ki kepadanya.
“apa? Tidak mungkin. Kamu bohong kan?”
“Tidak, Ga Eun. Aku serius. Dia anakku!!!”
Tanpa menjawab Song Ga Eun menghilang dari pandangan Kim Ae Ri yang terduduk menangis. Ae Ri berfikir apakah ini balasan atas pengkhianatan terhadap sahabatnya Ga Eun semasa dulu diturunkan kepada anaknya, Lee Joon Ki.
Di kampus
Tae Sang yang sedang duduk di sebelah Joon Ki, sempat bingung dengan tingkah sahabatnya itu yang semakin hari semakin aneh. Diam dan terus berdiam diri tanpa menghiraukan kehadiran Tae Sang di sampingnya.
“Sudahlah, masih banyak wanita cantik dari dia.”
“Memang, tapi bagaimana kalau yang aku cinta cuma dan hanya dia?”
Tiba-tiba, Shikhyung muncul di hadapan mereka. Melihat keheningan itu, Shikhyung tertarik mendekati mereka berdua.
“Boleh aku gabung?”
“Nggak masalah!!”
“Kamu kenapa Joon? Kok mukamu kusut gitu.”
“Aku tak apa.”
“Bohong tuh, dia ada masalah sama gebetan barunya. Usianya beda jauh.”
“Diem ahh!!”
“Ooo ya, siapa dia?” berharap Joon Ki menyebutkan namanya,.
“Song Ga Eun, dosen musik disini.”
“Apa? dia kan, kakakku!!”
Shikhyung pun langsung mengambil langkah menjauhi tempat mereka berdua duduk.
“Shikyung, tunggu!!!” teriak Joon Ki mengejarnya.
Dengan membawa sekeranjang kehancuran karena ia telah jatuh cinta kepada Joon Ki, yang ternyata malah menyukai kakak yang usianya berbeda jauh darinya saat ini.
“Ini tidak mungkin!! aku salah telah mencintainya.” Cetusnya sambil menangis di taman belakang kampus.
Rumah Joon Ki
Joon Ki sedang duduk bersama dengan ayahnya untuk membicarakan masalah asmaranya yang begitu rumit.
“Hentikan permainanmu ini, Nak? Kalian nggak akan mungkin bisa bersatu.”
“Aku mencintainya, pa!!!”
“Tidak, Joon Ki.”
Joon Ki pun meninggalkan papanya sendiri di ruang keluarga. Ia bermaksud menemui Song Ga Eun di kelas kosong ruang piano itu. Sekuat tenaga ia berlari membawa sebuah buku note yang diberikan oleh Ga Eun waktu itu.
Kali ini dia benar-benar menemukan Ga Eun sedang bermain piano dengan indah. Dia menghampiri Ga Eun di ruangan itu sambil bertepuk tangan dan menangis kecil.
Ga Eun hanya tersenyum menghentikan permainan pianonya dan memandang ke arah Joon Ki dan ikut menangis.
“Persis seperti pertama kali kita bertemu.” Duduk di sebelah Ga Eun. Dia pun hanya menganggukkan kepalanya.
“Ayo kita main bersama.”
“Iya.”
Mereka berdua pun mulai memainkan pianonya, dengan sangat cepat berpacu dengan indahnya irama yang konstan menjadikan suasana saat itu benar-benar romantis. Song Ga Eun pun tiba-tiba menghentikan permainannya.
“Shikhyung sangat mencintai kamu!!” katanya sambil menoleh ke arah Joon Ki.
“Tapi aku mencintai kamu!!”
“Perasaan ku sama seperti kamu, tapi ketahuilah kita sangat berbeda.”
“Aku tidak perduli, cinta tak memandang usia kan?” memegang pundak Ga Eun.
“Maaf, aku tidak bisa. Ini permainan kita yang terakhir.” berdiri untuk meninggalkan Joon Ki.
“Tidak, kamu tidak boleh pergi!!!” memegang tangan Ga Eun.
“Karena ini semua jauh akan lebih baik.” tangisnya melepaskan genggaman Joon Ki dan melangkah pergi menjauhinya
“Ga Eun.. jangan pergi!!! Teriaknya.
Song Ga Eun tetap tidak menghiraukannya meskipun mendengar panggilan Joon Ki, dia berjalan sambil menangis kecil. Ga Eun telah menghilang dari balik pintu, tinggalah Joon Ki dan piano tua serta lembaran buku note di atasnya
Tanpa ia sadari, ternyata kelas dan seisinya ini masih tetap menjadi saksi akan pertemuan dan perpisahannya dengan Ga Eun. Dengan berlinangan air mata ia pun memainkan kembali piano di hadapannya. Song Ga Eun akan tetap dikenang sebagai matahari yang selalu menerangi hati Joon Ki, meskipun perbedaan usia yang membuat mereka tak bisa bersatu.
=================================================================
Kiss Me or I Kiss You
“Chanyeol, oper bolanya ke Tao! Tao oper padaku! Argh sial bolanya direbut Yoon”
“Yeay, aku menang lagi. Nah, Baekhyun, Chanyeol, Tao, sudah kukatakan berapa kali, kalian tidak akan bisa mengalahkanku walaupun aku hanya sendirian”
“Baiklah, kami kalah lagi” Kata Chanyeol sambil mengatur nafasnya.
Hey, aku hampir lupa memperkenalkan diriku. Annyeonghaseyo naneun Kim Yoonji imnida, aku biasa dipanggil Yoon. Umurku 17 tahun. Aku adalah seorang gadis tomboy. Aku mempunyai 3 orang sahabat yaitu Huang Zi Tao, Byun Baekhyun dan Park Chanyeol. Mereka adalah sahabat karibku sejak kecil, tapi aku lebih lama bersahabat dengan Baekhyun dan Chanyeol dibanding dengan Tao.
10 tahun lalu aku, Baekhyun dan Chanyeol sedang bermain di depan komplek perumahan kami, lalu ada seorang anak -Tao- yang terlihat sedang memperhatikan kami. Karena kami risih diperhatikan terus, akhirnya kami memutuskan untuk menghampirinya.
#Flashback on
“Hey, kenapa memperhatikan kami terus?” Tanya Chanyeol. “Ne, dari tadi kau memperhatikan kami bermain terus” Sambung Baekhyun.
“Ng aku.. bolehkah aku ikut bermain dengan kalian, aku orang baru disini dan aku belum punya teman” Jawabnya malu-malu dengan bahasa Korea yang ‘aneh’ yang membuat Baekhun dan Chanyeol tertawa terbahak-bahak. Aku? Tentu saja aku tidak tertawa, memangnya apa yang lucu? Baekhyun dan Chanyeol saja yang berlebihan, mereka itu tidak berfikir dulu kalau ingin tertawa. Mungkin saja anak di depanku ini adalah orang pendatang dari negara lain.
“Hey, Chanyeolie Baekhyunie hentikan tawa kalian!!” Gertakku. Mereka pun langsung menghentikan tawa mereka, karena aku pernah mengancam mereka kalau mereka tidak menurut padaku aku akan menghajar mereka dengan kemampuan judo ku.
Aku pun melanjutkan kata-kataku. “Kau boleh saja kok bermain dengan kami, oh ya omong-omong namamu siapa? Dan kau berasal darimana?” Lanjutku pada namja bermata panda di depanku.
“Huang Zi Tao imnida, kalian bisa memanggilku Tao, bangapseumnida” Katanya malu-malu (lagi)
“Oh, Kim Yoonji imnida, panggil Yoon saja. Dan dua temanku yang lumayan gila ini…” Belum selesai aku bicara, Baekhyun dan Chanyeol telah memotong omonganku.
“KAMI TIDAK GILA!” Seru BaekYeol sambil memelototiku, aku hanya terkikik geli. “Byun Baekhyun/ Park Chanyeol imnida” Lanjut mereka hampir berbarengan.
“Sekarang ayo kita bersahabat!” Seru Chanyeol dengan lantang.
#Flashback off
Kujatuhkan tubuhku dengan sembarang di kasur empuk kamarku. Hari ini melelahkan sekali, mulai dari sekolah, les sampai main basket bersama Baekhyun, Chanyeol dan Tao.
“Sekarang jam berapa ya?” Gumamku lalu melihat jam dinding di pojok kamarku. “MWO? Jam 5?” Segera ku berlari ke kamar mandi lantai 1 rumahku. Saat aku sedang berlari di tangga tak sengaja aku menabrak Suho oppa, kakakku, sampai terjatuh di lantai.
“Aww appo” Ringis Suho oppa sambil mengelus-elus bokongnya. “Mianhae oppa” Seruku lalu berlari lagi. Huh, beginilah kalau punya sifat ceroboh.
Selesai mandi, aku kembali merebahkan diriku di kasur empuk kamarku yang ku bilang tadi. Saat ingin mulai memejamkan mata, tiba-tiba ponselku berbunyi pertanda telepon masuk.
“Siapa sih yang telepon? Mengganggu saja!” Gerutuku lalu melihat siapa yang menelpon.
“Yeoboseyo? YA! Tao kau mengganggu saja, aku mengantuk tau!” Bentakku pada seorang di seberang sana yang ternyata adalah Tao.
“Bisakah kau turun ke bawah? Aku ada di rumahmu” PIP, dia memutuskan sambungan telepon. Apa-apaan orang ini? Huh, mau tidak mau aku harus turun ke bawah.
Sesampainya di ruang tamu rumahku, aku kembali memarahi Tao yang telah membatalkan acara tidurku. “YA! Aku mau tidur tau! Kenapa tidak besok saja sih?” Gertakku pada Tao.
“Hm mianhae Yoon, lagipula sekarang masih jam 7” Katanya dengan wajah datar. “Aish, langsung saja kau mau apa kesini? Hoaaamh” Kataku dilanjut dengan menguap.
“Aku ingin mengajakmu tanding basket” Katanya. “Apa aku tak salah dengar? Main satu tim dengan Baekhyun dan Chanyeol melawanku saja kalian kalah. Sekarang kau menantangku 1 lawan 1?” Heranku. “Ne, memang salah?”
“Tidak sih, kalau begitu, kapan?”. Tanyaku. “Lusa. Otte?”
“OK, persiapkan dirimu untuk mengalahkanku” Kataku sedikit meledeknya, ia hanya tersenyum. “Baiklah, kau juga siapkan dirimu. Kalau gitu aku pulang dulu” Katanya sambil mengacak-acak rambutku.
Sepulangnya Tao dari rumahku, aku merasa cacing-cacing di perutku sedang berdemo. Hm rupanya aku lapar. Segera ku lari menuju dapur dan disana aku melihat Suho oppa sedang berkompromi dengan microwave. “Oppa, sedang apa? Eomma dan appa kemana? Dari tadi aku tak melihat mereka” Tanyaku sesaat setelah duduk di depan meja makan.
Suho oppa mematikan microwave, mungkin ia telah selesai memasak. “Oppa sedang menghangatkan jjajangmyeon, eomma dan appa sedang ada reuni SMA dengan teman mereka. Tao sudah pulang?”
“Ne” Jawabku singkat. “Oppa dengar, kalian ingin tanding basket berdua?” Tanya Suho oppa. “Ne, ia yang menantangku. Padahal main satu tim dengan Chanyeol dan Baekhyun melawanku yang sendirian saja kalah” Kataku mengulangi perkataanku pada Tao tadi.
“Berarti bagus dong, mungkin ia tak rela dikalahkan oleh yeoja” Jawab Suho oppa lembut. ”Hm, mungkin juga sih. Em oppa, apa aku boleh minta jjajangmyeon mu?” Kataku sambil melirik jjajngmyeon milik Suho oppa.
“Haha, kau ini… Kajja makan! Tadi oppa sengaja membeli banyak” Katanya.
“Nanti selesai makan jangan lupa belajar ne! Setelah belajar langsung tidur!” Kata suho oppa di sela-sela kegiatan makan kami.
“Siap boss!” Kataku sambil hormat kepadanya.
Author POV
Pagi hari yang cerah Yoonji tengah bersiap-siap pergi sekolah. Sambil menunggu para sahabat karibnya menjemputnya untuk pergi bersama ke sekolah, ia memakan sarapan yang dibuat ibunya. Baru saja ia akan menggigit roti isi sarapannya…
“YOON-YA KAJJA BERANGKAT KE SEKOLAH!!! NANTI TERLAMBAT!!!” Terdengar suara teriakan 3 atau mungkin 2 namja karena yang satu lagi bukan tipe orang yang suka teriak-teriak.
Yoonji berdecak kesal. “Ck, mereka berisik sekali sih” Yoonji berdiri dari duduknya lalu mengambil tas sekolah miliknya dan berjalan keluar rumahnya menemui 3 orang sahabatnya yang menjengkelkan tapi cukup membuat harinya berwarna.
“Yoon, yang kau makan itu apa? Sepertinya enak” Tanya Baekhyun berbasa-basi setelah Yoonji keluar rumah.
“Kau mau? Ige untukmu saja. Aku sudah kenyang pagi-pagi diteriaki oleh kalian” Canda Yoonji lalu memberikan roti isi yang tadi belum sempat ia makan kepada Baekhyun.
“Hey, Bacon! Berilah sedikit untukku” Sahut Chanyeol. “Kau mau Chanyeolie?” Goda Baekhyun.
“Ne!” Kata Chanyeol. “Kalau gitu kejar aku dulu” Baekhyun langsung berlari menghindari Chanyeol. “YA! Kau curang!!!” Chanyeol punikut berlari mengejar Baekhyun.
“Yoon” Panggil Tao yang sedari tadi diam memperhatikan kelakuan BaekYeol kepada Yoonji. “Ne?” Jawab Yoonji.
“Tentang basket, tolong jangan beritahu Baekhyun dan Chanyeol ya” Kata Tao dengan wajah datarnya. “Kau tenang saja, mareka tak akan tahu!! Kajja berangkat, nanti terlambat” Yoonji menarik tangan Tao sambil berjalan menuju sekolahnya.
Deg.. deg.. Terdengar detakan jantung diantara Tao dan Yoonji, tapi hanya Tuhan yang tau siapa pemilik detak jantung tersebut.
Sejak pulang sekolah, Tao telah berada di halaman belakang rumahnya. Ia sedang berlatih basket untuk mengalahkan Yoonji. Sebenarnya alasan ia menantang Yoonji untuk tanding basket adalah untuk menjadi lebih dekat dengan Yoonji. Ya, sebenarnya Tao menyukai Yoonji sejak awal pertemuan mereka.
Tao beristirahat sejenak untuk mengambil nafas, tiba-tiba sebuah ide cemerlang muncul di otaknya. Ia tersenyum. Namun ia masih ragu akan idenya tersebut. ‘Bagaimana kalau Yoon menjauhiku’ Batinnya.
“Masa bodo, yang penting perasaanku tersampaikan walau dengan cara seperti itu” Gumamnya.
Hari pertandingan antara Tao dan Yoonji pun tiba. Kini mereka telah berada di lapangan basket yang ada di komplek perumahan mereka. Sebelum pertandingan dimulai, mereka membuat perjanjian yang telah mereka setujui bahwa yang kalah harus menuruti permintaan yang menang. Waktu pertandingan hanya 20 menit.
10 menit berlalu, skor sementara diungguli oleh Tao yaitu 6 sedangkan Yoonji memiliki skor 4. Pertandingan berlanjut semakin sengit, tak ada yang berbuat curang dalam pertandingan ini. Sisa waktu hanya tinggal 5 menit lagi dan masih dipimpin oleh Tao.
5.. 4.. 3.. 2.. 1.. Waktu telah habis dan pemenangnya adalah… Huang Zi Tao!!!
“Huh baiklah, kau menang” Yoonji mengakui kekalahannya. “Oke, karena aku menang, kau harus menuruti 1 saja permintaanku” Kata Tao.
“Sowoneul marhaebwa, juseyo”
“Permintaanku adalah… Ng…” Tao merasa ragu untuk berkata. “Palliwa!” Yoonji tidak sabar.
“Cium aku” Lalu Tao mengatakan permintaannya, berusaha untuk tidak gugup. “MWOYA??” Yoonji kaget setengah mati.
—
Baekhyun dan Chanyeol tengah berjalan di sekitar komplek perumahan mereka. Mereka berniat mengunjungi rumah Tao. Mereka bermaksud ingin memamerkan barang yang berhasil mereka dapatkan, yaitu, poster official album I Got a Boy milik Girls’ Generetion. Padahal jika harga album tersebut sama dengan harga produk Gucci, Tao juga tak akan tertarik.
Saat mereka melewati lapangan basket, mereka melihat 2 orang sahabat mereka, Chanyeol berniat untuk menghampiri mereka. Tapi Baekhyun menahannya.
“Ssst, kita intip dari sini saja, sepertinya Tao sedang mengatakan hal penting” Bisik Baekhyun direspon oleh anggukan kepala Chanyeol.
“Sowoneul marhaebwa, juseyo”
“Permintaanku adalah… Ng…”
“Palliwa!”
“Cium aku”
“MWOYA?”
Baekhyun dan Chanyeol kaget, tapi mereka berusaha menahan pekikan masing-masing, karena mereka tidak ingin keberadaan mereka diketahui oleh Tao dan Yoonji.
—
“Apa tidak ada permintaan lain? Ma.. masalahnya.. ini adalah first kiss-ku” Keluh Yoonji sedikit gugup.
“Ani.. sekarang cium aku! Atau…” Tao menggantung kalimatnya. “Atau a.. apa?” Yoonji merasakan firasat buruk.
Chu~. Kini bibir Tao telah menempel sempurna di bibir Yoonji. Yoonji speechless. Ia meronta-ronta agar Tao melepaskan tautan bibir mereka, namun apadaya, walaupun dirinya dikenal sebagai yeoja yang kuat tetap saja tenaga Tao lebih besar darinya.
5 detik… 10 detik sudah, Tao melepaskan tautan bibir mereka. Yoonji mengatur nafasnya yang hampir habis karena ciuman 10 detik barusan. Isi hatinya campur aduk antara kaget, gugup dan… senang mungkin? Ia tidak menyadari kalau sekarang wajahnya sudah bagaikan kepiting rebus yang siap dimakan. Begitu pula Tao, ia tidak manyadari wajahnya yang memerah dan juga wajah Yoonji tentunya.
—
“Be… benarkah yang barusan i.. itu… poppo?” Bisik Chanyeol pada Baekhyun masih di tempat persembunyian mereka. “Aku tak menyangka kalau Tao senekat itu” Balas Baekhyun. Ya, Baekhyun dan Chanyeol mengetahui perasaan Tao terhadap Yoonji. Namun mereka tak menyangka kalau Tao akan senekat ini.
—
“Mianhae…” Lirih Tao dengan wajah yang ditundukkan. “NEO… Aish…” Pekik Yoonji lalu ia berlari meninggalkan Tao.
Tao berlutut di tengah lapangan basket sepeninggalnya Yoonji. “Sudah kuduga” Sesal Tao.
—
Yoonji terus berlari menuju rumahnya. Ia tidak menangis, tentu saja. Perasaannya saat ini masih campur aduk. Ia berlari menuju kamarnya tanpa memperdulikan panggilan kakak dan ibunya yang terus menanyakan ‘Ada apa denganmu?’
Braaak.. Ia membanting pintu kamarnya lalu duduk di atas kasur miliknya. Ia memegangi dadanya yang berdetak sangat kencang. ‘Tao, kau harus tanggung jawab, kau telah membuatku dugeun-dugeun seperti ini’ Batinnya.
—
Setelah kejadian itu, Yoonji selalu menghidari Tao entah di rumah, sekolah, tempat les dan dimanapun mereka berada di tempat yang sama. Yoonji selalu menghindari kontak mata dengan Tao. Hal ini membuat Baekhyun dan Chanyeol cemas. Mereka ingin seperti dulu lagi. Selalu bersama.
Hari minggu pagi yang cerah seperti biasa Yoonji masih bergelut dengan bantal dan guling di rumahnya. Setiap hari minggu adalah saatnya untuk tidur sepuasnya tanpa ada yang boleh mengganggunya. Namun sepertinya kali ini ritual hari minggunya itu akan terganggu karena…
“KIM YOONJI!!! PALLI IREONA!!!” Chanyeol dan Baekhyun berhasil memasuki kamar Yoonji atas izin eomma Yoonji
Yoonji terbangun akibat teriakan BaekYeol yang sangat keras. “Aish.. kalian mengganggu acara tidurku!” Yoonji melempar bantalnya ke arah BaekYeol namun berhasil ditepis oleh Chanyeol.
“Kami ingin berbicara denganmu Yoon! Ini penting” Wajah BaekYeol tiba-tiba berubah serius tidak seperti biasanya yang seperti komedian. “Bicara apa? Palli marhaebwa, aku masih mengantuk nih”
“Ini tentang kau dan Tao” Jawab Chanyeol. Mendengar nama Tao disebut, jantung Yoonji berdetak cepat seperti pada saat ia dan Tao ciuman. “Marhaebwa” Kata Yoonji berusaha menghilangkan kegugupannya.
“Sebelumnya kami ingin tanya, apakah kau marah pada Tao?” Tanya Chanyeol.
“Marah? Untuk apa?” Tanya Yoonji. “Karena ia menciummu bebeapa waktu lalu” Jawab Baekhyun.
Yoonji membulatkan matanya. “Kalian tau?”
“Ne, kami mengintip waktu itu” Jawab BaekYeol kompak membuat pipi Yoonji bersemu merah.
“A… aku tak marah, hanya saja… Akuuu malu” Yoonji menutupi wajahnya yang memerah dengan bantalnya.
“Jadi kau juga mulai suka dengan Tao?” Tanya Baekhyun setelah menyingkirkan bantal dari wajah Yoonji. “Juga? Maksud kalian?”
“Ne, Tao menyukaimu” Jawab Chanyeol. “Bagaimana bisa? Aku tak percaya” Selidik Yoonji pada BaekYeol.
Baekhyun menghela nafas. “Kau tak percaya? Baiklah, apa kau ingat saat kau dan Yongguk sunbae berkelahi?” Yoonji mengangguk.
“Saat itu Tao sangat mencemaskanmu. Ia takut kau akan dikalahkan dengan Yongguk sunbae yang berbadan besar itu…”
“Tapi akhirnya aku yang menang, kan?”
“YA! Yoon-ya Baekhyun belum selesai bercerita!” Bentak Chanyeol saat Yoonji memotong omongan Baekhyun.
“Jangan potong omonganku lagi! sampai mana tadi? Ah ya… Dan kau tau, ia hampir ingin menangis saat itu karena mengkhawatirkanmu”
“Dan saat kami bertanya mengapa ia sampai menangis seperti itu, ia menjawab ‘Karena aku menyayanginya bahkan mencintainya. Sekarang kau percaya?” Lanjut Chanyeol.
Bukannya menjawab, Yoonji malah bertanya balik. “Dimana ia sekarang?”
“Di lapangan basket” Jawab BaekYeol serentak. Yoonji langsung pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, ia tidak mau kelihatan seperti baru bangun tidur di depan Tao. Setelah selesai, ia langsung berlari ke lapangan basket menemui Tao.
—
Seorang namja bermata panda –Tao- tengah duduk di tepi lapangan, ia sedang memikirkan kejadian dengan Yoonji beberapa hari lalu. Ia sangat menyesal karena ia telah membuat orang yang dicintainya menjauhinya. ‘Babo Tao’ Batinnya.
Dirasakannya seseorang menepuk bahunya agak kencang, ia mendongak menatap orang yang menepuk bahunya itu. “Yoon?”
“Annyeong, kenapa sendirian disini?” Yoonji segera duduk di samping Tao.
Bukannya menjawab, Tao malah bertanya balik. “Kau? bukannya kau sedang marah padaku?”
“Ani, memangnya aku harus marah karena apa?” Jawab Yoonji pura-pura tak tau.
“Tentang yang kemarin… engg poppo” Jawab Tao malu.
“Oh, aku tak marah… hanya saja waktu itu aku sangat malu. Apa kau tak melihat wajahku saat itu yang seperti kepiting rebus?”
“Oh ya, kudengar dari Baekhyun dan Chanyeol kau menyukaiku, kan?” Tanya Yoonji percaya diri. “Ne, kalau aku menyukaimu, kau mau apa?”
“Aku mau kau menyatakan cinta padaku sekarang!”
“Kenapa tidak kau saja?”
“Ani, aku maunya kau”
Tao berdiri lalu menghela nafasnya. “Baiklah! KIM YOONJI SARANGHAEYO!!! KAU HARUS MENJADI MILIKKU SELAMANYA” Teriak Tao.
CHU~ Satu kecupan hangat Yoonji mendarat di bibir Tao. “Itu adalah jawaban dari pernyataan cintamu dan juga jawaban dari keinginanmu karena aku kalah main basket denganmu” Kata Yoonji lalu berlari meninggalkan Tao yang mematung akibat ‘kejutan’ darinya.
Sementara itu, dua orang manusia yang berada di balik semak-semak saling bertukar pandang.
“Ternyata Yoon juga bisa menjadi genit ya Chanyeol-ah”
END
=================================================================
From Korea With Love
“Joheun achimieyo (selamat pagi). Annyeonghaseyo (apa kabar?). Naneun Miranda Adilla-imnida (saya Miranda Adilla). I’m from Indonesia. Nice to meet you.” Hari ini aku mulai bersekolah di salah satu Senior High School di kota Seoul. Aku mengikuti pertukaran pelajar dan Korea merupakan negara tujuanku. Dengan bahasa Korea ditambah bahasa Inggris yang sedikit kacau, aku mulai membuka lembaran baru di negeri Ginseng ini.
Aku duduk di tempat dudukku setelah berkenalan tadi. Rupanya teman sebangkuku seorang namja. Aku memutuskan untuk berkenalan dengannya karena aku tidak mengenal satu pun siswa di kelas ini.
“Annyeonghaseyo, my name is Miranda. And you?” Dengan sopan aku bertanya kepadanya sambil mengulurkan tanganku. Ia pun menoleh padaku dan menerima uluran tanganku.
“Annyeong, I’m Kang Jun-ha. You can call me Jun-ha. Nice to meet you.” Nama yang indah menurutku. Kang Jun-ha, teman sebangkuku yang ku harap menyenangkan.
Tanpa ku sadari bel istirahat berbunyi. Kulihat Jun-ha keluar kelas bersama teman-temannya. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku buta arah dalam masalah suasana baru.
“Hai, Miranda. Ada apa? Sepertinya kamu sedang bingung.” Seorang anak perempuan seumuranku menyapaku.
“Ah, aniyo (tidak). Aku hanya bingung akibat masalah kecil saja. Dimana letak kantin disini? Bisakah kau menemaniku kesana?” Aku bertanya padanya. Sepertinya hanya dia yang perhatian padaku.
“Oh, arasseo (baiklah). Kajja (ayo).” Dia menarik tanganku dan kami pun berjalan beriringan menuju kantin.
“Oh, ya. Nama kamu siapa? Aku lupa menanyakan namamu. Makasih ya atas bantuannya. Jeongmal gamsahamnida (terima kasih banyak).” Aku berterima kasih padanya sesampainya kami di kantin. Ia memilih bangku yang bagus di dekat jendela.
“Nde (iya). Naneun Han Hye-rin imnida.” Ia mengulurkan namanya. “What a beautiful name.” Dia tersenyum mendengar pujianku.
“Kamu dari Indonesia, ya? Udah pernah kesini sebelumnya?” Hye-rin bertanya sembari mengaduk cola pesanannya.
“Belum. Ini pertama kalinya aku ke Korea. Rasanya masih tidak percaya bisa terpilih dalam pertukaran pelajar ini,” jawabku. Iya, aku benar-benar tidak percaya. Kupikir masih banyak siswa-siswa terbaik di Indonesia selain aku. Tapi, aku sangat bersyukur karena aku yang terpilih.
“Oh, iya. Disini juga ada siswa dari Indonesia. Itu dia, Miran.” Hye-rin menunjuk ke arah salah satu siswa laki-laki di kantin. Kulihat ia berjalan menuju kami.
“Tapi, Hye-rin. Kenapa dia menuju ke arah sini?” tanyaku. Belum sempat Hye-rin menjawab pertanyaanku, anak laki-laki itu sudah bergabung dengan kami.
“Ah, senangnya punya teman dari satu negara yang sama. Halo, aku Fandy. Nama kamu siapa?” Tanpa basa-basi ia bertanya padaku sambil mengulurkan tangannya.
“Aku Miranda. Kamu dari Indonesia, ya? Kok kamu tahu kalau aku juga dari Indonesia?” tanyaku sambil membalas uluran tangannya.
“Ya, aku tahu saja. Soalnya disini baru pertama kali menerima siswa pertukaran pelajar. Apalagi dari Indonesia. Orang-orang disini sebagian besar sudah tahu tentang negara kita. Jadi, tentu saja kabarnya beredar dengan cepat,” jawab Fandy. Oh, pantas saja. Semenjak tadi aku merasa seolah-olah sedang diperhatikan. Sepertinya mereka penasaran dengan orang Indonesia seperti aku dan Fandy.
“Ya, sudah. Senang berkenalan denganmu, Miranda. Kalau kamu kesulitan disini, kamu bisa panggil aku di kelas sebelah. Aku pergi dulu, ya. Masih ada urusan dengan teman.” Kulihat Fandy beranjak pergi meninggalkan kantin. Hmm, aku merasa senang karena bisa menggunakan bahasa Indonesia. Walaupun hanya dengan Fandy saja.
“Miran. By the way, teman sebangkumu itu, Jun-ha, juga memiliki darah Indonesia.” Hye-rin yang sedari tadi diam mengejutkanku. Benarkah? Pantas saja ada yang berbeda dari Jun-ha. Walaupun aku belum sadar apa itu.
“Jeongmalyo (benarkah?). Apakah orangtuanya dari Indonesia?” tanyaku kepada Hye-rin. “Bukan, orang tuanya asli penduduk sini. Tapi, kakek dari pihak ibunya orang Indonesia. Jadi, ia mendapat darah Indonesia dari kakeknya melalui ibunya,” jawab Hye-rin.
“Oh, begitu. Ya, sudah. Nanti aku mau bertanya kepadanya menggunakan bahasa Indonesia. Mungkin dia bisa mengerti sedikit,” balasku. “Ide bagus, Miran. Haebbwa (coba saja).” Hye-rin menyemangatiku.
“Gamsahamnida (terima kasih). Temani aku ke perpus, ya?” Kulihat Hye-rin menganggukkan kepalanya sambil menarik tanganku.
Tidak terasa sudah hampir seminggu aku berada di Seoul. Hari ini aku sengaja berangkat lebih pagi karena ingin menikmati awal musin semi. Harum bunga sakura tercium semenjak aku meninggalkan flatku. Aku lebih senang berjalan kaki daripada naik bis. Selain menghemat uang, aku juga ingin sedikit berolahraga.
Aku menghentikan langkahku ketika kulihat seorang kakek tua sedang terduduk di pinngir jalan. Naluriku mengatakan ada yang tidak beres dengan kakek itu.
“Permisi, kek. Kakek kenapa? Ada yang bisa saya bantu?” Aku keceplosan menggunakan bahasa Indonesia. Kakek itu menatapku sebentar sambil mengernyitkan dahinya. Mungkin ia tidak mengerti dengan ucapanku tadi.
“Kamu dari Indonesia, ya? Kebetulan, kaki kakek kram sehingga kakek tidak bisa berjalan. Kamu mau kan menghentikan bis itu. Kakek ingin pulang sekarang.” Aku terkejut ketika kakek itu bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Mungkinkah dia kakeknya Jun-ha?
Ku hapus jauh-jauh pikiranku tentang hal itu. Tenang, Ran. Masih banyak orang Indonesia disini. Bukan hanya keluarganya Jun-ha saja.
“Terima kasih, nak. Apa kamu tidak keberatan mengantarkan kakek sampai rumah? Kamu kan sedang berangkat sekolah?” Kakek itu bertanya padaku. Aku sedang berada di dalam bis yang menuju rumahnya.
“Tidak apa-apa, kek. Lagipula masih lama sebelum jam masuk. Tidak usah dipikirkan. Saya ikhlas kok membantu kakek. Kan kita sama-sama dari Indonesia.” Kulihat kakek itu tersenyum.
“Jadi, kamu dari Indonesia, ya? Kamu tinggal disini bersama orangtuamu, nak?” tanya kakek. “Tidak, kek,” jawabku. “Saya berada disini untuk sebentar saja. Saya ikut pertukaran pelajar selama tiga bulan,” sambungku.
“Oh, begitu. Kakek kira kamu tinggal disini bersama orangtuamu. Kita sudah sampai, nak. Ayo, mampir dulu ke rumah kakek,” pinta kakek. Aku tidak bisa menolak karena kulihat kaki kakek itu masih sakit. Aku berjalan menuju rumah kakek sambil memapah kakek.
“Ya, ampun. Ayah, darimana saja? Kenapa tidak meninggalkan pesan kalau mau ke luar rumah. Kami semua bingung mencari keberadaan Ayah.” Ku lihat seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh turun dari tangga menuju ke arah kami. Mungkin dia putri kakek ini.
“Sudahlah, Ji-soo. Kamu kan tahu kalau setiap pagi ayah selalu berjalan keliling kompleks. Sudahlah, ayah tidak apa-apa.” Kakek itu berbicara dalam bahasa Indonesia kepada putrinya. Wanita itu hanya manggut-manggut saja.
“Oh, ya. Gadis ini yang menolong ayah tadi. Kebetulan kaki ayah kram jadi tidak bisa berjalan. Dia juga dari Indonesia,” sambung kakek itu lagi.
“Benarkah? Terima kasih, nak.” Wanita itu tersenyum padaku. “Iya, Bi. Sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu. Nanti terlambat pergi ke sekolah,” sahutku.
“Tunggu dulu, nak. Mungkin kamu akan terlambat karena membantu kakek tadi. Lebih baik kamu berangkat bersama cucu kakek saja.” Kakek menawariku. Sebenarnya aku tidak mau tapi daripada aku terlambat, aku terima saja.
“Betul, nak. Sepertinya Jun-ha sudah selesai sarapan. Jun-ha, kamu antar gadis ini, ya. Dia mungkin terlambat berangkat sekolah karena sudah mengantarkan kakek.” Wanita itu berbicara kepada seorang anak laki-laki dan itu Jun-ha. Ya, Tuhan. Jadi kakek ini kakeknya Jun-ha.
“Arasseo, eomma (baiklah, ibu),” jawab Jun-ha. Kulihat ia melangkah menghampiriku. “Ya, ampun. Miranda, jadi kamu yang membantu kakekku. Terima kasih banyak, ya” Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Kamu kenal dia, Jun-ha?” tanya kakek. Ibu Jun-ha juga terkejut ketika Jun-ha memanggil namaku. “Nde, harabeoji (iya, kek). Dia satu kelas denganku. Ya, sudah kami berangkat dulu, kek.” Jun-ha menjawab sambil memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Terima kasih Miran karena sudah membantu kakekku.” Lagi-lagi Jun-ha berterima kasih padaku ketika kami dalam perjalanan menuju sekolah.
“Iya, Jun-ha. Sama-sama.” Mengetahui kalau kakek itu adalah kakeknya Jun-ha, aku merasa begitu senang. Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa.
—
“Hai, Miran. Pulang sekolah nanti kamu mau tidak temani aku jalan-jalan. Kamu mungkin belum sempat mengunjungi tempat wisata di Seoul. Bagaimana?” Fandy mengejutkanku. Aku bingung mau ikut bersamanya atau tidak. Kulirik Jun-ha dan ia masih asyik sendiri.
“Tidak bisa. Dia sudah ada janji denganku. Dia mau menemaniku pergi ke tepi sungai Han.” Tanpa kuduga Jun-ha menjawab pertanyaan Fandy. Sepertinya ia serius dengan ucapannya.
“Benarkah, Miran? Kamu memang punya janji ya dengannya?” Fandy bertanya lagi. “Tidak. Aku tidak punya janji dengan Jun-ha. Ya, sudah. Aku ikut kamu.” Entah kenapa aku menuruti permintaan Fandy. Jun-ha menatapku tajam dan aku tak sanggup membalas tatapan matanya.
“Aku tunggu kamu di gerbang sekolah setelah pulang sekolah. Sampai jumpa disana.” Fandy ke luar kelas dan aku hanya bisa menarik nafas.
Buk. Jantungku serasa mau copot. Jun-ha menggebrak mejanya sembari menatapku tajam. Ya, Tuhan. Ada apa ini? Apa dia marah kepadaku? Kulihat ia keluar kelas tanpa menoleh ke arahku.
“Miran, kamu tidak apa-apa?” Hye-rin mengejutkanku. “Aku baik-baik saja. Aku hanya bingung dengan sikap Jun-ha saja. Dia kenapa?” tanyaku padanya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap Jun-ha.
“Sebenarnya, Jun-ha sangat membenci Fandy. Bagi Jun-ha, Fandy adalah saingannya semenjak kelas X. Ditambah lagi gadis yang Jun-ha sukai lebih memilih Fandy daripada Jun-ha.” Aku bisa membayangkan bagaimana ketidaksukaan Jun-ha kepada Fandy. Tapi, tetap saja hal itu tidak ada hubungannya denganku.
“Kemudian, Fandy tidak membalas cinta gadis itu. Aku juga tidak tahu kenapa. Tapi, gadis itu masih tetap menyukai Fandy dan akhirnya ia meninggal.” Apa? Gadis yang Jun-ha sukai sudah meninggal. Kenapa?
“Kenapa gadis itu meninggal, Hye-rin?” tanyaku. “Gadis itu memang sakit-sakitan. Tapi, ia tetap mengejar Fandy. Mungkin karena kelelahan atau tekanan batin, sakitnya menjadi bertambah parah dan akhirnya ia meninggal. Aku kurang tahu tentang masalah itu,” jawab Hye-rin.
“Begitu, ya. Kalau begitu aku bisa menanyakan hal itu pada Jun-ha.” Sebuah ide bagus muncul di otakku. Aku hanya ingin labih tahu tentang hal itu.
“Andwae (jangan).” Hye-rin menghentikanku. “Kamu bisa membuat Jun-ha lebih marah lagi. Jun-ha selalu menganggap kalau penyebab kematian gadis itu karena Fandy. Sudahlah, Miran. Jangan kau pikirkan masalah itu.” Iya, aku tidak memikirkan hal itu. Aku hanya kasihan dengan Junha.
“Kasihan Jun-ha. Pasti semua itu berat baginya,” gumamku. Sepertinya Hye-rin tidak mendengarkanku. Bukankah akan lebih baik jika gadis itu masih ada disini. Sekalipun ia menyukai Fandy. Dibanding ia meninggal dan Jun-ha tidak bisa melihatnya lagi. Aku merasa kasihan dengan Jun-ha. Mungkin lebih dari itu. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku berada di posisi Jun-ha.
“Hei, Miran. Itu Jun-ha sudah kembali. Kau sapa saja dia. Aku mau keluar dulu.” Hye-rin pergi meninggalkan aku dan Jun-ha.
“Jun-ha. Maaf, tadi aku tidak mengiyakan perkataanmu. Kita kan memang tidak ada janji sebelumnya. Aku tidak mau berbohong. Maafkan aku, Jun-ha. Mianhae (maaf).” Aku meminta maaf kepadanya ketika ia sudah duduk kembali. Ia hanya melihatku sekilas.
“Jun-ha, besok kamu mau kan menemaniku pergi. Kamu kan udah janji.” Tiba-tiba seorang gadis datang dan langsung mengajak Jun-ha bicara. Siapa dia?
“Mianhae, Na-young (maaf). Aku tidak bisa,” jawab Jun-ha. Aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka saja.
“Tapi, besok adalah hari peringatan satu tahun kematian Ah-yeon. Kamu harus mengunjunginya,” balas gadis itu. Jadi, gadis yang disukai Jun-ha adalah Ah-yeon dan besok hari peringatan kematiannya. Aku baru mengetahui hal itu sekarang.
“Aku tidak bisa. Aku tidak mau terkekang dengan dengan masa lalu tentang dia. Jangan paksa aku, Na-young.” Jun-ha menatap Na-young tajam. Seperti ketika ia menatapku.
“Tapi, Jun-ha.” Belum selesai Na-young bicara kulihat Jun-ha sudah bergabung dengan teman laki-lakinya. Aku hanya bisa menatap Na-young dengan iba. Jun-ha, kenapa ia tidak mau pergi? Bukankah ia sangat mencintai gadis itu? Entahlah, itu bukan urusanku. Sadarlah, Miran. Jun-ha hanya menganggapmu sebagai temannya.
“Karena Ah-yeon adalah sahabatku. Karena aku menyukai kamu, aku terpaksa melakukan hal ini. Karena aku tahu jika Ah-yeon adalah seluruh duniamu.” Na-young melanjutkan kalimatnya. Dan aku hanya terdiam mendengarnya. Jadi, dia menyukai Jun-ha. Tiba-tiba sebuah peluru menghantam hatiku.
—
“Kita kemana, Jun-ha?” Aku benar-benar terkejut pagi ini. Jun-ha datang ke flatku dan mengajakku pergi entah kemana. Dia hanya diam tanpa menjelaskan apapun padaku.
“Kita sudah sampai. Aku hanya ingin mengajakmu ke tempat ini. Maaf jika itu menyusahkanmu.” Jun-ha membawaku ke sebuah makam. Ku tebak itu pasti makam Ah-yeon.
Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Untuk apa dia membawaku kesini? Dan benarkah ini makam Ah-yeon? Tapi, untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikiranku. Ingin ku bertanya padanya. Tapi, ketika kulihat ia sedang khusyuk berdoa, ku urungkan niatku.
“Miran, apa yang kau lakukan disini?” Kulihat Fandy juga ada disini. Mungkinkah, mungkinkah ini memang makam Ah-yeon?
“Aku yang membawanya kesini. Ada masalah dengan itu?” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Fandy, Jun-ha sudah menjawabnya. Aku takut kejadian kemarin terulang lagi.
“Tidak apa-apa. Tapi, untuk apa kamu membawa gadis lain ke makam orang yang kau cintai? Apa kau sudah memutuskan untuk melupakan dia?” balas Fandy. Kulihat wajah Jun-ha kian memerah.
“Sudah cukup. Kalian jangan bertengkar disini.” Aku mencoba memisahkan mereka. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Na-young.
“Jun-ha, kau keterlaluan. Kau bilang tidak ingin menemaniku kesini, tapi kau malah datang bersama gadis ini.” Na-young langsung menyudutkan Jun-ha.
“Apa kau menyukai gadis ini? Kau sudah melupakan Ah-yeon, begitu?” kata Na-young lagi. Jun-ha tidak menjawab pertanyaan Na-young. Ia hanya terdiam.
“Sudahlah, Na-young. Jangan kau sudutkan Jun-ha.” Fandy berusaha menenangkan Na-young.
“Sebenarnya, aku tidak menyukai Miran. Aku hanya ingin membawanya ke makam Ah-yeon supaya Ah-yeon tahu kalau aku sudah melupakan dia. Gadis ini hanya pelarianku saja.” Aku terkejut. Jadi, ia baik padaku, mati-matian membelaku hanya karena itu. Hanya karena hal itu dia bersikap baik padaku. Padahal aku sudah berharap lebih padanya.
“Apa yang kau bicarakan, Jun-ha? Apa maksudmu? Jadi selama ini kau hanya berpura-pura baik padaku hanya untuk ini. Kau jahat sekali.” Aku berlari pergi meninggalkan mereka. Terbayang di benakku bagaimana Jun-ha membantuku memahami pelajaran, meminjamiku buku, menemaniku jalan-jalan keliling kota Seoul. Ia yang membelaku ketika aku diganggu siswa lain, membelikanku makanan di kantin. Semuanya tentang Jun-ha berkelabat di pikiranku.
Aku tidak tahu harus kemana. Pikiranku kalut. Aku tidak tahu kenapa aku seperti ini. Hatiku terasa sakit. Mungkin tanpa aku sadari, aku sudah menyayangi Jun-ha. Lebih dari seorang teman ataupun sahabat. Entahlah, aku merasakan rasa teramat sakit di lubuk hatiku. Karena Jun-ha. Mungkinkah aku sudah jatuh padanya dan aku terluka karena dia hanya menjadikanku pelampiasan cintanya.
—
Aku tersenyum membaca surat Fandy. Sudah sebulan aku kembali ke Indonesia. Semenjak kejadian di makam itu, aku tidak pernah bertegur sapa dengan Jun-ha lagi. Sampai aku pulang pun, ia tidak mengantar kepergianku. Hanya Fandy dan Hye-rin saja yang mengantarku ke bandara.
Di dalam suratnya Fandy mengatakan kalau ia sedang dekat dengan Hye-rin. Syukurlah, aku senang karena dia sudah melupakan Ah-yeon. Fandy sendiri yang bilang jika ia juga menyukai Ah-yeon. Tapi karena ia merasa tidak nyaman dengan Jun-ha, ia mengacuhkan Ah-yeon.
Ah-yeon beruntung, batinku. Ia dicintai dua orang yang sangat menyayanginya. Tapi, kupikir ia juga tidak terlalu beruntung karena ia sudah tidak ada disini.
“Miran, lonceng sudah berbunyi. Pulang yuk?” Ana mengajakku pulang. Rasanya masih belum pukul 14.00. Ku iyakan saja ajakannya sembari berjalan ke luar kelas.
“Tadi surat dari temanmu di Seoul, ya? Senangnya. Aku iri deh.” Ana memang sahabatku yang paling lucu. Ia selalu saja berhasil menarik perhatianku.
“Ya, sudah. Nanti aku suruh dia mengenalkan kamu dengan teman-temannya disana,” sahutku. Ana hanya tersenyum simpul.
“Oh, ya. Ran, ada murid baru di sekolah kita. Anak cowok, sepertinya ganteng sih,” kata Ana lagi. “Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku padanya.
“Tidak ada sih. Aku cuma takut saja kalau kamu tidak tahu info terbaru. Kamu kan kudet, hehe.” Ana menggodaku. Tega sekali dia julukin aku kurang update.
“Miran, itu tuh anak barunya.” Kulihat Ana menunjuk ke arah sampingku. Aku kemudian berbalik dan kulihat seseorang yang sudah tidak asing lagi.
“Halo, Ran. Annyeonghaseyo. Maaf untuk semuanya. Mianhae. Aku tidak bermaksud seperti itu. Kamu mau kan memaafkan aku?” Kulihat Jun-ha berdiri di depanku. Jadi, dia sekarang sekolah disini. Untuk apa?
“Aku tidak bermaksud untuk mempermainkan kamu. Aku tidak menjadikanmu pelampiasan semata. Sepertinya aku benar-benar jatuh hati padamu, Miran.” Sebuah pelangi tiba-tiba muncul di hatiku. Apa? Jadi, dia benar-benar menyukaiku. Mungkinkah?
“Geojitmal (jangan bebohong). Kamu cuma jadikan aku pelampiasanmu saja, kan?” Aku tetap keras kepala. Aku tidak sepenuhnya percaya padanya.
“Aniyo (tidak). Saranghamnida, Miran. Aku benar-benar suka kamu. Percayalah padaku. Aku jauh-jauh pindah kesini dan sekolah disini karena aku ingin melihatmu lagi. Aku benar-benar rindu kamu ketika kau tidak ada di sampingku lagi. Mianhae. Aku cinta kamu.” Dia mengucapkan kalimat terakhirnya dalam bahasa Indonesia. Aku cinta kamu. Benarkah seperti itu yang sekarang ia rasakan padaku? Aku benar-benar ingin percaya padanya sekarang.
Aku, tanpa pernah aku sadari aku telah jatuh hati padanya. Orang yang hanya bisa mengucapkan aku cinta kamu. Ternyata cinta yang jauh-jauh kubawa dari Korea akhirnya menghampiriku disini.
=================================================================
Nah itu tadi Kumpulan CERPEN CINTA ROMANTIS KOREA yang sudah saya update untuk anda para setia previewers blog verasquefotos.blogspot.com, semoga bermanfaat untuk anda dan semoga setelah melihat info diatas ana jadi terhibur, mungkin anda bisa lihat juga CERPEN CINTA ROMANTIS I Love You More Than a Cupcakes. Terimaaksih sudah melihat info diatas.